POV: Joe
Sungguh, sebenarnya ada apa
dengan adikku? Sudah hampir setengah jam dia mondar mandir seperti itu di
depanku sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Bukankah sebentar lagi dia
harus les?
“Hey, Nadine. Sebenarnya kau ini
kenapa?” tanyaku sambil meminum es kopi.
Nadine berhenti modar mandir dan
menatapku dengan tajam. Benarkah? “Kenapa Kakak mengajak Kak Kim kencan?” wow,
langsung to the point.
“Kencan? Apa maksudmu? Kakak
hanya mengajaknya-“ belum selesai elakanku, dia sudah memotong.
“Makan siang, kencan, apa
bedanya?” hmm mungkin Nadine akan menjadi pengacara yang berbakat.
Nadine masih memelototiku selagi
aku mencari jawaban yang pas. “tentu saja berbeda. Kalau kencan, kau punya rasa
terhadap orang yang kau ajak. Kalau makan siang-“ lagi-lagi Nadine memotong
penjelasanku.
“Jadi Kakak mau bilang kalau Kakak
hanya main-main dengan Kak Kim?” nada suaranya berubah menjadi sengit.
Sebenarnya berpihak pada siapa Nadine ini? Seharusnya padaku!
“Bukan begitu. Kakak bukannya-“
sial. Maunya apa sih bocah ini? Selalu saja memotong perkataanku.
“Jadi, Kakak tertarik pada Kak
Kim?” aku sudah merasa seperti diinterogasi oleh adikku sendiri. Seharusnya
kumasukkan saja Nadine ke sekolah polisi.
Aku menghela nafas dan diam
sejenak. Aku melirik arlojiku dan berkata, “Ya, ampun! Nadine kau sudah
terlambat les piano. Kau harus segera berangkat kalau tidak mau terlambat.” Oke
mungkin aku hanya menunda masalah. Ini lebih baik daripada aku salah ngomong
nantinya.
“Oke, oke. Kakak berhutang
jawaban padaku.” Balas Nadine sambil berjalan malas ke mobil.
Well, setidaknya dia tidak harus
naik kendaraan umum karena seorang gadis tetangga kami, yang ternyata naksir
berat padaku (bukannya aku GR, ini kenyataannya), mau mengantarkan adikku
kemana pun asal aku mau membantunya belajar. Itung-itung mengingat pelajaran
SMA.
Hmm…. Sebaiknya aku segera
bersiap-siap ke kampus agar tidak terlambat. Presentasi di kelas Pak Kuncoro?
Oh, kau takkan mau terlambat sedetik pun!
-----
POV: Kim
Tiga puluh menit lagi…
Aku tak pernah segugup ini kencan
dengan… oh maksudku bukan kencan tapi makan siang, dengan seorang cowok. Siapa
namanya kemarin? Oh ya, Joe. Mungkin karena dia itu kakak dari muridku. Atau
karena dia lumayan tampan? Barangkali keduanya…
Kelasku sudah usai 30 menit yang
lalu. Aku tidak ada jadwal kelas lagi.
Hahh… aku paling benci kalau
harus menunggu tanpa ada yang bisa menemaniku. Aku seperti orang bodoh duduk
sendirian seperti ini. Menurutku, menunggu itu adalah kegiatan yang paling
membuang waktumu sia-sia. Apalagi kalau yang ditunggu ternyata tidak jadi
datang…
Wah, untungnya cowok itu datang
lebih cepat! Syukurlah…
“Hai,” sapa Joe sambil tersenyum.
Waaah senyumnya itu…
Karena aku bete menunggu, aku
hanya tersenyum saja. Bukan salah dia juga sih. Toh, dia datang lebih cepat
dari waktu yang ditentukan.
“Udah lama nunggu?” tanyanya
dengan raut cemas sambil melirik arlojinya. Kau tidak perlu khawatir Joe, kau
tidak terlambat.
“Ya.”
Jawaban singkatku membuat kedua
alis Joe naik dan mulutnya sedikit menganga. Yah, semacam raut wajah kaget dan
tidak percaya serta heran menjadi satu.
“Tenang. Ini bukan salahmu.
Kelasku selesai lebih cepat. Kau malah datang lebih awal, bukan?” aku segera
memberi klarifikasi sebelum wajahnya bertambah aneh dan tawaku menyembur.
Seketika wajahnya berubah menjadi
lega. Senang melihat wajahnya kembali tampan.
“Makan apa kita?” tanyaku memecah
suasana. Kau tau? Sebelum suasana di sini tambah canggung.
“Kudengar restoran Sushi di ujung
jalan enak. Benarkah?”
“Entahlah. Aku tidak suka Sushi.
Makanan mentah seperti itu membuatku mual.” Jawabku sambil memasang wajah tidak
suka sambil mengelus perutku. Membayangkannya saja sudah membuat nafsu makanku
menurun.
“Lantas apa yang kau suka?”
“Yah… sebenarnya apa saja, asal
bukan Sushi. Tapi sekarang aku sedang ingin makanan tradisional.”
“Hmm… sepertinya aku tau di mana
makanan tradisional yang enak. Kau masih ada kelas?”
Kenapa dia bertanya seperti itu?
Hmm… “Sepertinya tidak. Kenapa?”
“Ayo ikut aku.” Tanpa menjawab
pertanyaanku, Joe langsung meraih lenganku dan membawaku ke lapangan parkir.
Sebelum dia menyuruhku masuk, aku
menyuarakan kegelisahanku. “Tunggu!”
Dia menatapku dengan seksama.
Menunggu kalimatku berlanjut. Oh, Tuhan… kau menciptakan sepasang mata yang
sangat indah!
“Bagaimana dengan motorku?”
tanyaku.
Raut kagetnya kembali. Tapi kali
ini hanya kaget saja. Oh, lucunya wajah kagetnya.
“Kau bawa motor?” Joe malah balik
bertanya dengan nada tidak percaya. Memangnya perempuan tidak boleh bawa motor?
“Iya.”
Mendengar jawaban ketusku, ia
langsung tersenyum manis. Hey, seharusnya kau tidak tersenyum seperti itu, Tuan!
Sungguh! Dia membuatku tak bisa ketus ataupun marah padanya. Huh.
“Akan aku antarkan kamu kembali
kesini.” Ucapnya masih dengan senyumnya. Bisakah kau hentikan senyuman itu?
Aku berpura-pura berpikir sejenak
sebelum kuanggukkan kepalaku. Tentu aku tidak bisa membiarkannya menilaiku
wanita gampangan.
“Kalau begitu, ayo masuk.” Joe mempersilahkanku
masuk ke kursi penumpang bagian depan. Dan Joe menjaga kepalaku agar tidak
terbentur. Joe juga menutupkan pintu mobilnya.
Joe berlari kecil memutari mobil
dan menduduki kursi supir. Dia menyalakan mesin mobil dan menengok kepadaku dan
kembali dengan senyuman manisnya.
“Jadi, apakah kau siap setengah
hari berpetualang denganku?” matanya bersinar-sinar semangat dan bibirnya
menyunggingkan senyum yang lebih lebar.
“Sebenarnya kita akan makan siang
atau pergi ke Narnia?” aku memutar mataku. Oh, yang benar saja. Benarkah aku
mengucapkannya?
“Hahahahaha…” dia tertawa dan itu
membuatku agak merona. “Mungkin keduanya. Jadi kuharap kau mengencangkan sabuk
pengamanmu.” Ucapnya dengan semangat.
Joe menjalankan Mercedes-nya. Dan
jantungku pun berdetak lebih cepat.
*Kemanakah sebenarnya Joe akan
membawa Kim? Apakah keduanya memiliki ketertarikan dan perasaan yang sama? Tunggu
di part selanjutnya ya J
maaf kalau ceritanya kurang menarik. Dan terima kasih sudah mau membaca. xoxo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar