Kamis, 06 September 2012

I'm Sorry - part 3


POV: Joe

Sungguh, sebenarnya ada apa dengan adikku? Sudah hampir setengah jam dia mondar mandir seperti itu di depanku sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Bukankah sebentar lagi dia harus les?
“Hey, Nadine. Sebenarnya kau ini kenapa?” tanyaku sambil meminum es kopi.
Nadine berhenti modar mandir dan menatapku dengan tajam. Benarkah? “Kenapa Kakak mengajak Kak Kim kencan?” wow, langsung to the point.
“Kencan? Apa maksudmu? Kakak hanya mengajaknya-“ belum selesai elakanku, dia sudah memotong.
“Makan siang, kencan, apa bedanya?” hmm mungkin Nadine akan menjadi pengacara yang berbakat.
Nadine masih memelototiku selagi aku mencari jawaban yang pas. “tentu saja berbeda. Kalau kencan, kau punya rasa terhadap orang yang kau ajak. Kalau makan siang-“ lagi-lagi Nadine memotong penjelasanku.
“Jadi Kakak mau bilang kalau Kakak hanya main-main dengan Kak Kim?” nada suaranya berubah menjadi sengit. Sebenarnya berpihak pada siapa Nadine ini? Seharusnya padaku!
“Bukan begitu. Kakak bukannya-“ sial. Maunya apa sih bocah ini? Selalu saja memotong perkataanku.
“Jadi, Kakak tertarik pada Kak Kim?” aku sudah merasa seperti diinterogasi oleh adikku sendiri. Seharusnya kumasukkan saja Nadine ke sekolah polisi.
Aku menghela nafas dan diam sejenak. Aku melirik arlojiku dan berkata, “Ya, ampun! Nadine kau sudah terlambat les piano. Kau harus segera berangkat kalau tidak mau terlambat.” Oke mungkin aku hanya menunda masalah. Ini lebih baik daripada aku salah ngomong nantinya.
“Oke, oke. Kakak berhutang jawaban padaku.” Balas Nadine sambil berjalan malas ke mobil.
Well, setidaknya dia tidak harus naik kendaraan umum karena seorang gadis tetangga kami, yang ternyata naksir berat padaku (bukannya aku GR, ini kenyataannya), mau mengantarkan adikku kemana pun asal aku mau membantunya belajar. Itung-itung mengingat pelajaran SMA.
Hmm…. Sebaiknya aku segera bersiap-siap ke kampus agar tidak terlambat. Presentasi di kelas Pak Kuncoro? Oh, kau takkan mau terlambat sedetik pun!

-----

POV: Kim

Tiga puluh menit lagi…
Aku tak pernah segugup ini kencan dengan… oh maksudku bukan kencan tapi makan siang, dengan seorang cowok. Siapa namanya kemarin? Oh ya, Joe. Mungkin karena dia itu kakak dari muridku. Atau karena dia lumayan tampan? Barangkali keduanya…
Kelasku sudah usai 30 menit yang lalu. Aku tidak ada jadwal kelas lagi.
Hahh… aku paling benci kalau harus menunggu tanpa ada yang bisa menemaniku. Aku seperti orang bodoh duduk sendirian seperti ini. Menurutku, menunggu itu adalah kegiatan yang paling membuang waktumu sia-sia. Apalagi kalau yang ditunggu ternyata tidak jadi datang…
Wah, untungnya cowok itu datang lebih cepat! Syukurlah…
“Hai,” sapa Joe sambil tersenyum. Waaah senyumnya itu…
Karena aku bete menunggu, aku hanya tersenyum saja. Bukan salah dia juga sih. Toh, dia datang lebih cepat dari waktu yang ditentukan.
“Udah lama nunggu?” tanyanya dengan raut cemas sambil melirik arlojinya. Kau tidak perlu khawatir Joe, kau tidak terlambat.
“Ya.”
Jawaban singkatku membuat kedua alis Joe naik dan mulutnya sedikit menganga. Yah, semacam raut wajah kaget dan tidak percaya serta heran menjadi satu.
“Tenang. Ini bukan salahmu. Kelasku selesai lebih cepat. Kau malah datang lebih awal, bukan?” aku segera memberi klarifikasi sebelum wajahnya bertambah aneh dan tawaku menyembur.
Seketika wajahnya berubah menjadi lega. Senang melihat wajahnya kembali tampan.
“Makan apa kita?” tanyaku memecah suasana. Kau tau? Sebelum suasana di sini tambah canggung.
“Kudengar restoran Sushi di ujung jalan enak. Benarkah?”
“Entahlah. Aku tidak suka Sushi. Makanan mentah seperti itu membuatku mual.” Jawabku sambil memasang wajah tidak suka sambil mengelus perutku. Membayangkannya saja sudah membuat nafsu makanku menurun.
“Lantas apa yang kau suka?”
“Yah… sebenarnya apa saja, asal bukan Sushi. Tapi sekarang aku sedang ingin makanan tradisional.”
“Hmm… sepertinya aku tau di mana makanan tradisional yang enak. Kau masih ada kelas?”
Kenapa dia bertanya seperti itu? Hmm… “Sepertinya tidak. Kenapa?”
“Ayo ikut aku.” Tanpa menjawab pertanyaanku, Joe langsung meraih lenganku dan membawaku ke lapangan parkir.
Sebelum dia menyuruhku masuk, aku menyuarakan kegelisahanku. “Tunggu!”
Dia menatapku dengan seksama. Menunggu kalimatku berlanjut. Oh, Tuhan… kau menciptakan sepasang mata yang sangat indah!
“Bagaimana dengan motorku?” tanyaku.
Raut kagetnya kembali. Tapi kali ini hanya kaget saja. Oh, lucunya wajah kagetnya.
“Kau bawa motor?” Joe malah balik bertanya dengan nada tidak percaya. Memangnya perempuan tidak boleh bawa motor?
“Iya.”
Mendengar jawaban ketusku, ia langsung tersenyum manis. Hey, seharusnya kau tidak tersenyum seperti itu, Tuan! Sungguh! Dia membuatku tak bisa ketus ataupun marah padanya. Huh.
“Akan aku antarkan kamu kembali kesini.” Ucapnya masih dengan senyumnya. Bisakah kau hentikan senyuman itu?
Aku berpura-pura berpikir sejenak sebelum kuanggukkan kepalaku. Tentu aku tidak bisa membiarkannya menilaiku wanita gampangan.
“Kalau begitu, ayo masuk.” Joe mempersilahkanku masuk ke kursi penumpang bagian depan. Dan Joe menjaga kepalaku agar tidak terbentur. Joe juga menutupkan pintu mobilnya.
Joe berlari kecil memutari mobil dan menduduki kursi supir. Dia menyalakan mesin mobil dan menengok kepadaku dan kembali dengan senyuman manisnya.
“Jadi, apakah kau siap setengah hari berpetualang denganku?” matanya bersinar-sinar semangat dan bibirnya menyunggingkan senyum yang lebih lebar.
“Sebenarnya kita akan makan siang atau pergi ke Narnia?” aku memutar mataku. Oh, yang benar saja. Benarkah aku mengucapkannya?
“Hahahahaha…” dia tertawa dan itu membuatku agak merona. “Mungkin keduanya. Jadi kuharap kau mengencangkan sabuk pengamanmu.” Ucapnya dengan semangat.
Joe menjalankan Mercedes-nya. Dan jantungku pun berdetak lebih cepat.


*Kemanakah sebenarnya Joe akan membawa Kim? Apakah keduanya memiliki ketertarikan dan perasaan yang sama? Tunggu di part selanjutnya ya J maaf kalau ceritanya kurang menarik. Dan terima kasih sudah mau membaca. xoxo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar