Hai, namaku Joseph Adams. Tapi,
kalian bisa memanggilku Joe. Umurku 19 tahun dan sekarang aku berada di tahun
kedua kuliah. Aku lebih tinggi dari remaja kebanyakan. Jadwal kuliahku tidak bisa
menghambat waktu nge-band bersama teman-temanku dan bermain basket setiap
minggunya.
Aku berasal dari keluarga yang
harmonis. Namun, keharmonisan itu terenggut dariku dan adikku dalam sebuah
kecelakaan kereta. Saat itu umurku 16 tahun dan adikku, Nadine yang baru berumur
7 tahun. Jadi sejak saat itu aku berusaha untuk tidak egois dan memberikan
perhatian pada adik perempuanku itu.
------
Siang yang sangat terik dan panas
saat aku terjebak macet. Tidak ada satu awan pun di atas sana. Kemana awan-awan
tebal yang kulihat kemarin? Jaket kulit hitamku menyerap panas matahari yang
membuatku semakin berkeringat. Sepertinya aku salah ambil jaket.
25 menit yang lalu aku masih
berada di dalam kamarku yang dingin sambil mengerjakan proyek bulanan yang
diberikan oleh dosenku. Aku sedang membuat kerangka konsepnya saat handphone-ku
berdering.
“ya, halo?” kujawab panggilan
tersebut tanpa melihat layarnya.
“halo? Kakak?” ternyata Nadine
yang menelepon.
Aku agak heran kenapa Nadine
meneleponku saat seharusnya ia sedang berlatih meneri di studio tarinya sejak
10 menit yang lalu. “ya, kenapa, dik?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari
laptop.
“kakak bisa bantuin Nadine kan?
tas tari Nadine ketinggalan di meja makan. Bisa kakak anterin?” ucap bocah 10
tahun tersebut dari seberang dengan nada memohon.
Sejenak aku menimbang-nimbang
sambil menatap layar laptop-ku. Tapi aku sudah berjanji akan melakukan apapun
untuk adik perempuanku satu-satunya.
“baiklah, akan kakak antarkan. Give
me 30 minutes.” Ucapku seraya menutup laptop.
“yeay! Makasih banyak ya kak!”
seru Nadine dari seberang dengan penuh semangat.
Aku tersenyum mendengarnya. Sambungan
pun terputus.
Aku segera berganti pakaian dan
mengantarkan tas tari adikku yang tertinggal secepat mungkin. Agar aku bisa
melanjutkan mengarjakan proyekku.
Dan disinilah aku sekarang. Hampir
20 menit aku terjebak dalam kemacetan ini. Padahal tinggal 3 blok lagi sampai
aku tiba di studio tari adikku dan menyerahkan tas ini. Sial, apa sih yang
adikku jejalkan pada tas ini? Kenapa lebih berat daripada tas yang biasa
kubawa?
Beberapa meter ke depan, jalanan
kembali lancar. Ternyata ada kecelakaan tak jauh dari situ. Tak ingin membuang
waktu lebih banyak lagi, aku langsung memacu motorku.
Aku memarkir motorku di depan
sebuah gedung sederhana berlantai 3. Lalu aku bergegas masuk ke dalam dan
mendapati seorang wanita paruh baya di belakang meja resepsionis.
Aku menghampiri wanita paruh baya
tersebut dan bertanya, “permisi, bu. Maaf mengganggu.”
“ada apa ya?” balas wanita paruh
baya tersebut dengan nada angkuh seraya mengangkat kepalanya dengan gaya
dramatis. Aku heran kenapa wanita dengan sikap seperti ini bisa diterima
menjadi seorang resepsionis?
“kelas bu Kimberly dimana, ya?”
tanyaku dengan sopan.
Wanita di hadapanku ini menatap
ku dengan tatapan memangnya-siapa-kamu yang tajam. Matanya memperhatikanku dari
kepala hingga kakiku. “ada urusan apa?” tanyanya masih dengan nada arogan.
“saya hanya ingin mengantarkan
tas tari adik saya.” Jawabku sambil menunjukkan tas tari adikku.
Entah ini perasaanku saja atau
apa, raut wajahnya berubah menjadi ramah seraya menjawab, “oh. Kelas beliau ada
di lantai 2 ruang 23.”
Perkiraanku adalah, wanita ini
kenal dengan adikku dan adikku meminjam telepon di meja resepsionis untuk
meneleponku.
Aku tersenyum dan berterima kasih
pada wanita itu dan segera menuju tangga ke lantai 2.
Sesampainya di lantai 2, aku langsung
menemukan ruang 23 karena letaknya yang persis di depan tangga.
Aku agak ragu untuk mengetuk
pintunya. Takut mengganggu sesi latihan yang sedang berlangsung. Tapi aku tidak
mendengar apapun dari dalam. Aku mulai ragu. apakah ini ruangan yang benar?
Tapi, daripada menunggu di depan
pintu seperti orang bodoh, aku memutuskan untuk mengetuknya dua kali.
Tak ada respon.
Kemudian aku mengetuk pintu lagi.
Kali ini sedikit lebih kencang.
“Masuk saja! Pintunya tidak
dikunci!” seru seorang wanita dari dalam ruangan.
Menanggapinya, aku membuka pintu
tersebut dengan perlahan namun pasti.
Saat pintu tersebut cukup terbuka
untuk orang-orang di dalam studio melihatku, seorang bocah berlari
menghampiriku dan memelukku. Sudah pasti ini adikku yang hiperaktif. Aku agak
menunduk untuk melihat wajahnya dan menyerahkan tas tarinya.
Kemudian seseorang yang
sepertinya tadi mempersilahkanku masuk menghampiri dan berkata, “akhirnya kau
sampai juga. Kita semua menunggumu.”
Aku mengangkat wajahku. Kemudian aku
melihat wajah itu dan senyumnya……
-bersambung-
*maaf kalau ceritanya agak membosankan. ini cerita fiksi pertama gue, jadi harap maklum o:) gue janji part selanjutnya bakal lebih seru :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar