Minggu, 29 Juli 2012

I'm Sorry - Part 1


Hai, namaku Joseph Adams. Tapi, kalian bisa memanggilku Joe. Umurku 19 tahun dan sekarang aku berada di tahun kedua kuliah. Aku lebih tinggi dari remaja kebanyakan. Jadwal kuliahku tidak bisa menghambat waktu nge-band bersama teman-temanku dan bermain basket setiap minggunya.

Aku berasal dari keluarga yang harmonis. Namun, keharmonisan itu terenggut dariku dan adikku dalam sebuah kecelakaan kereta. Saat itu umurku 16 tahun dan adikku, Nadine yang baru berumur 7 tahun. Jadi sejak saat itu aku berusaha untuk tidak egois dan memberikan perhatian pada adik perempuanku itu.
­­

------

Siang yang sangat terik dan panas saat aku terjebak macet. Tidak ada satu awan pun di atas sana. Kemana awan-awan tebal yang kulihat kemarin? Jaket kulit hitamku menyerap panas matahari yang membuatku semakin berkeringat. Sepertinya aku salah ambil jaket.

25 menit yang lalu aku masih berada di dalam kamarku yang dingin sambil mengerjakan proyek bulanan yang diberikan oleh dosenku. Aku sedang membuat kerangka konsepnya saat handphone-ku berdering.

“ya, halo?” kujawab panggilan tersebut tanpa melihat layarnya.

“halo? Kakak?” ternyata Nadine yang menelepon.

Aku agak heran kenapa Nadine meneleponku saat seharusnya ia sedang berlatih meneri di studio tarinya sejak 10 menit yang lalu. “ya, kenapa, dik?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.

“kakak bisa bantuin Nadine kan? tas tari Nadine ketinggalan di meja makan. Bisa kakak anterin?” ucap bocah 10 tahun tersebut dari seberang dengan nada memohon.

Sejenak aku menimbang-nimbang sambil menatap layar laptop-ku. Tapi aku sudah berjanji akan melakukan apapun untuk adik perempuanku satu-satunya.

“baiklah, akan kakak antarkan. Give me 30 minutes.” Ucapku seraya menutup laptop.

“yeay! Makasih banyak ya kak!” seru Nadine dari seberang dengan penuh semangat.

Aku tersenyum mendengarnya. Sambungan pun terputus.

Aku segera berganti pakaian dan mengantarkan tas tari adikku yang tertinggal secepat mungkin. Agar aku bisa melanjutkan mengarjakan proyekku.

Dan disinilah aku sekarang. Hampir 20 menit aku terjebak dalam kemacetan ini. Padahal tinggal 3 blok lagi sampai aku tiba di studio tari adikku dan menyerahkan tas ini. Sial, apa sih yang adikku jejalkan pada tas ini? Kenapa lebih berat daripada tas yang biasa kubawa?

Beberapa meter ke depan, jalanan kembali lancar. Ternyata ada kecelakaan tak jauh dari situ. Tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, aku langsung memacu motorku.

Aku memarkir motorku di depan sebuah gedung sederhana berlantai 3. Lalu aku bergegas masuk ke dalam dan mendapati seorang wanita paruh baya di belakang meja resepsionis.

Aku menghampiri wanita paruh baya tersebut dan bertanya, “permisi, bu. Maaf mengganggu.”

“ada apa ya?” balas wanita paruh baya tersebut dengan nada angkuh seraya mengangkat kepalanya dengan gaya dramatis. Aku heran kenapa wanita dengan sikap seperti ini bisa diterima menjadi seorang resepsionis?

“kelas bu Kimberly dimana, ya?” tanyaku dengan sopan.

Wanita di hadapanku ini menatap ku dengan tatapan memangnya-siapa-kamu yang tajam. Matanya memperhatikanku dari kepala hingga kakiku. “ada urusan apa?” tanyanya masih dengan nada arogan.

“saya hanya ingin mengantarkan tas tari adik saya.” Jawabku sambil menunjukkan tas tari adikku.

Entah ini perasaanku saja atau apa, raut wajahnya berubah menjadi ramah seraya menjawab, “oh. Kelas beliau ada di lantai 2 ruang 23.”

Perkiraanku adalah, wanita ini kenal dengan adikku dan adikku meminjam telepon di meja resepsionis untuk meneleponku.

Aku tersenyum dan berterima kasih pada wanita itu dan segera menuju tangga ke lantai 2.

Sesampainya di lantai 2, aku langsung menemukan ruang 23 karena letaknya yang persis di depan tangga.
Aku agak ragu untuk mengetuk pintunya. Takut mengganggu sesi latihan yang sedang berlangsung. Tapi aku tidak mendengar apapun dari dalam. Aku mulai ragu. apakah ini ruangan yang benar?

Tapi, daripada menunggu di depan pintu seperti orang bodoh, aku memutuskan untuk mengetuknya dua kali.
Tak ada respon.

Kemudian aku mengetuk pintu lagi. Kali ini sedikit lebih kencang.

“Masuk saja! Pintunya tidak dikunci!” seru seorang wanita dari dalam ruangan.

Menanggapinya, aku membuka pintu tersebut dengan perlahan namun pasti.

Saat pintu tersebut cukup terbuka untuk orang-orang di dalam studio melihatku, seorang bocah berlari menghampiriku dan memelukku. Sudah pasti ini adikku yang hiperaktif. Aku agak menunduk untuk melihat wajahnya dan menyerahkan tas tarinya.

Kemudian seseorang yang sepertinya tadi mempersilahkanku masuk menghampiri dan berkata, “akhirnya kau sampai juga. Kita semua menunggumu.”

Aku mengangkat wajahku. Kemudian aku melihat wajah itu dan senyumnya……

-bersambung-

*maaf kalau ceritanya agak membosankan. ini cerita fiksi pertama gue, jadi harap maklum o:)  gue janji part selanjutnya bakal lebih seru :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar