Senin, 22 Oktober 2012

Gelembung Sabun

hai bloggers :)

gue rada bosen nih nge-post nya tentang cerbung gue, puisi, sama film pendek. kalian bosen gak sih? gue aja yang ngetik bosen. harus mikirin estetikanya lah, kata-kata yang cocok lah. bukan bosen sih sebenernya, capek aja.

sekarang gue mau ngebahas hal yang lagi gue suka sekarang, yaitu GELEMBUNG SABUN!
kalian sih harusnya udah tau gelembung sabun itu apa, gue udah search.

ini nih yang namanya gelembung sabun. indah kan? :)

menurut sebuah kamus yang gue gak tau (pokoknya kamus), gelembung adalah:
1 bentuk bola-bola yg berisi udara; bola-bola air (air sabun, buih, dsb) yg berisi udara;   
2 bola karet yg ditiup dsb sehingga spt balon kecil;

tapiiiiii kalo menurut gue, gelembung sabun adalah sebuah benda yang sangat amat indah yang bisa ngilangin stres!
coba aja deh, kalo lagi suntuk atau stres pusing, coba kalian campurin sabun apa aja. terus bikin gelembung kayak diatas gitu. tau kan caranya?
nggak tau?
nih gue kasih tau.
pertama, campusin sabun (kalau mau tahan lama, bisa pake deterjen atau sabun colek) sama air (takarannya banyakin sabunnya yaa). terus aduk hingga merata dan muncul busa. kalo udah muncul busa, larutan sabun kalian sudah siap untuk dijadikan gelembung :)
terus, coba kalian cari benda yang ujungnya itu berbentuk O atau sedotan juga bisa. tapi yang gampangnya sih, bisa pake jari kalian.
coba satuin ujung jempol sama telunjuk kalian sampe berbentuk O. terus celupin deh ke larutan sabun yang tadi kalian udah bikin. usahain O yang terbentuk dari jempol-telunjuk kalian itu kerendem semua.
udah? nah sekarang tahap penentuan!
cara niup gelembung juga gak sembarangan loh
kalian gak boleh terlalu pelan. nanti gelembungnya gak jadi-jadi.
kalo terlalu kenceng juga gak bisa. yang ada gelembungnya bakal langsung pecah atau yang kebentuk cuma sedikit.
coba kalian tiup dengan gentle. pelan tapi ada tenaganya.
dan jadilah gelembung kayak gambar di atas :)
dan dipastikan stres kalian berkurang. gue sama temen-temen gue buktinya. saat kita pusing belajar buat UTS, kita sempetin waktu buat niup gelembung dan hasilnya? senyum lebar dan tawa lepas menghiasi hari kita :) dan siapa tau menghiasi hari si dia juga :p

meski banyak yang bilang kayak anak kecil, cuek aja lagi. sebenernya mereka yang ngatain itu pengen ikutan tau niup gelembung. gengsi aja mereka.

sekian post gelembung kali ini. senang bisa berbagi cara mengurangi stres dengan kalian :) gue mau niup gelembung duluuu~ *beneran*
Wassalam.

Sabtu, 20 Oktober 2012

I'm Sorry - part 4 (English Version)

POV: Joe


That morning I was deliberately being ordinary. But the truth is, I really wanna pull my sister out of her room and immediately interrogate her. It's not her fault didn’t tell me. But still...
She must already know about all this.
Finally after 20 minutes I pretended to read the newspaper over coffee, Nadine casually take her steps into the dining room.
"what we have for breakfast?" she asked as she sat comfortably on the chair.
"As usual." I replied in a monotone with my eyes stuck to the paper, and I was very tired turning the same page and read over and over again of the same article.
Well indeed, I made a usual breakfast for her, homemade fried rice with a fried egg that I season.
"You know?" Suddenly Nadine spoke so softly that I had to look her.
"I miss Mom." Three words. I know what it means, very understand. But it may be different for Nadine. She only 10.
I'm still waiting for her words. "Your fried rice has the same taste as Mom’s. Moreover, this fried rice. "She continued.
Of course it tasted like Mom’s. Well ... it is because she was the one who taught me how to make fried rice as good as it was.
Wait. Why atmosphere of the dining room is a sad way? Damn, it’s hard to ask this question right now.
"Already, quick. Eat your meal if you do not want to be late." I said.
I thought the tears will flow, and she wipe it immediately. She ate with gusto as usual.
Have you ever seen someone eat homemade food with gusto, like Nadine now? You should try it. It feels like the work you bought for billions! A rare but pleasant feeling.

-----

POV: Kim

"You tell it in the first date?" Dean squealed when I told her what happened last night.
"Sorry, I inadvertently. When I’m talking to him, I felt very comfortable." My alibi.
"Still, Kim! At least you have to believe and trust that guy first. You can not tell it to stranger. "
“He isn’t stranger! He is my student’s brother.”
“Kim, you’re not know this guy.”
"All right. I'm sorry." I swear I am truly sorry. Me and Dean have agreed on this. So, I'll face the risks.
Dean sighed for a moment and look at me like she ... understand? "Relax, we'll face it together. If you're fired, we will soon get a new job for you. "She said with a reassuring smile.
I catch her smile. "I'm very lucky to have a friend like you. What am I without you? "
"Are you trying to seduce me?" Dean's face instantly turned mischievous. "As long as you know, I still love my boyfriend now."
"You've got a girlfriend? Why did not you tell me? "Honestly I'm a little upset that Dean never did tell me if she was close to any guy.
"Oh, you've got to meet him. He's cool and very fun. Oh yeah, he's also very loyal when I'm sad or happy." Dean said it vehemently.
"What's his name? Did I know him? "I'm getting impatient.
"Maybe you do not know him well, but I remember both of you often to meet."
"Really?" Okay, I'm getting confused. Who exactly was the guy that Dean said?
"Yes. I was with you. "
Maybe now my face is starting to look weird. I'm very curious and confused. I never remember that me and Dean often met with a guy. Not this year.
"I'll help remind you. He is white, large, I think good looking ... "I tried hard turning my brain.
Considering every guy who ever talked to both of us.
"... Very soft," wait. Soft? "And he was often called by ... Bed."
Oh yes! I knew it!
Instantly Dean laugh out loud. "Hahahaha! You should see the face of confusion of yours! You're so funny! "
I could only smile bullied like that. Maybe this time my face was flushed. I can’t count how many times Dean tricked me by utilize my innocent. It's not fair!
You will get pay back, Dean. We’ll see.

-----

POV: Joe

That night I decided to ask Nadine about that thing.
"Is it every teacher in your dance studio at least 20," I asked suddenly makes Nadine immediately stop feeding activity. So suddenly.
Nadine just froze. Did not answer my question.
"Hmm? Do you not know that? "
I saw Nadine nod.
"And Kim?"
Nadine suddenly turned around to face me. With a quizzical stares and furrowed brows. "You know?"
I shrug. "Let's say someone told me that she is still a high school student."
In seconds which is very fast, Nadine is now in front of me. I mean really in front of me, even in my lap.
"Do not tell anyone." Said Nadine looks very pitiful.
"Why?" I added little sympathy in my eyes.
"Because working at that dance studio can be an opportunity for her." Her eyes now look very sad. Uh, wait. I my sister about cry?
Before she is really crying, I should say what she want to hear. But before I could say it, her habits show. Cut my words off.
"You like her, right?" She said.
Of course I'm confused. "Why do you say that?"
"Because you called her after the date."
"It's not a-" and again, she cut my words off.
"Well ... whatever it's called. The point is you called her. If you are not interested in her, you will not call her again and hung it, right? "
Shit. From where this little girl knew about this? Still a kid but could take such a conclusion? I should not have bought her an iPhone.
"Back to the beginning." I tried to change the subject. "So when did you know that Kim is still in high school?"
Nadine forehead creased in thought. It was a sign that she was thinking. Or try to remember.
"When I started training a week in the studio."
"It's been that long?" Sure my face looks very surprised. "And you did not tell me? Not even gave a clue? "Or perhaps disappointed expression was shadowing my face.
"I’ve promised!" Nadine back pleading.
I tried to soften my expression. "All right. From now on, you're no longer hide anything  from my me, okay? "I offer my right pinkie finger as a sign of agreement.
Nadine greeted enthusiastically reach my little finger. "There are no lies between us!" She said excitedly with a garnish of sweet smile.
I love my sister.

I'm Sorry - part 4

POV: Joe


Pagi itu aku memang sengaja bersikap biasa saja. Tapi sebenarnya, ingin rasanya menarik adikku keluar dari kamarnya dan langsung menginterogasinya. Memang bukan salahnya tidak memberitahuku. Tapi tetap saja.
Dia pasti sudah tau tentang semua ini.
Akhirnya setelah 20 menit aku berpura-pura membaca koran sambil minum kopi, Nadine dengan santainya melenggakkan kakinya ke ruang makan.
“Sarapan apa kita?” tanyanya begitu dia duduk dengan nyaman di bangkunya.
“Seperti biasa.” Jawabku dengan nada datar tanpa mengalihkanku pandanganku dari koran, padahal aku sudah sangat bosan membolak-balik halaman yang sama dan membaca berulang-ulang artikel yang sama pula.
Yah memang aku membuatkan sarapan seperti biasa untuknya, nasi goreng buatan sendiri dengan telur dadar yang aku bumbui.
“Kakak tau?” tiba-tiba Nadine berbicara begitu lirih sehingga aku harus mengalihkan perhatianku padanya.
“Aku kangen Mama.” Tiga kata itu. Aku tau maksudnya, sangat memahami bahkan. Tapi mungkin beda rasanya bagi Nadine yang sekarang baru berumur 10 tahun.
Aku masih menunggu kata-katanya. “Rasa masakan kakak sangat mirip dengan buatan Mama. Apalagi nasi goreng ini.” Lanjutnya.
Memang rasanya pasti seperti buatan almarhumah Mama. Yaa… memang karena Mama-lah yang mengajarkanku cara membuat nasi goreng seenak itu.
Tunggu. Kenapa suasana ruang makan ini menjadi sedih begini? Sial, aku jadi sungkan menanyakan hal ini pada Nadine.
“Sudah, cepat makan kalau kau tidak mau terlambat.” Ucapku.
Air mata yang kuduga akan mengalir itu, buru-buru dihapusnya. Ia pun makan dengan lahap seperti biasanya.
Pernahkah kalian melihat seseorang makan makanan buatanmu dengan lahap seperti Nadine sekarang? Kalian harus mencobanya. Rasanya seperti hasil karya kalian dibeli dengan harga milyaran! Perasaan yang langka namun menyenangkan.

-----

POV: Kim

“Kau memberitahunya saat kencan pertama?” pekik Dean saat aku menceritakan kejadian semalam.
“Maaf, aku tidak sengaja. Habisnya saat ngobrol dengannya, aku merasa sangat nyaman.” Alibiku.
“Tetap saja, Kim! Setidaknya kau harus yakin dan percaya dulu pada cowok itu. Kau tidak boleh sembarang membertitahu.”
“Baiklah. Maafkan aku.” Sumpah aku benar-benar menyesal. Aku dan Dean sudah menyepakati hal ini. Jadi, aku yang akan menghadapi resikonya.
Dean menghela nafas sesaat dan menetapku dengan tatapan… mengerti? “Tenang, kita akan menghadapinya bersama-sama. Kalau kau dipecat, kita akan segera mendapatkan pekerjaan baru.” Ucapnya dengan senyum menenangkan.
Aku tertular senyumnya. “Aku sangat beruntung mempunyai teman seperti kamu. Apa jadinya aku tanpamu?”
“Apa kau sedang mencoba merayuku?” raut wajah Dean langsung berubah jail. “Karena asal kau tau saja, aku masih sangat mencintai pacarku sekarang.”
“Kau sudah punya pacar? Kenapa kau tidak memberitahuku?” jujur aku agak marah karena Dean tidak pernah sama sekali memberitahuku kalau dia sedang dekat dengan cowok manapun.
“Oh, kau harus berkenalan dengannya. Dia keren dan sangat asyik. Oh ya, dia juga sangat setia baik aku sedang sedih ataupun senang.” Dean mengucapkannya dengan berapi-api.
“Siapa namanya? Apa aku mengenalnya?” aku mulai tidak sabar.
“Mungkin kau tidak mengenalnya dengan baik, tapi seingatku kalian lumayan sering bertemu.”
“Benarkah?” oke, aku mulai bingung. Siapa sebenarnya cowok yang dibicarakan Dean?
“Ya. Aku pun bersama kalian.”
Mungkin sekarang wajahku mulai terlihat aneh. Aku sangat penasaran sekaligus bingung. Aku tidak pernah ingat kalau aku dan Dean sering bertemu dengan seorang cowok. Tidak selama setahun ini.
“Aku akan membantu mengingatkanmu. Dia putih, besar, menurutku good looking…” aku berusaha keras memutar otakku. Mengingat setiap cowokyang pernah berbicara dengan kami berdua.
“… sangat empuk,” tunggu. Empuk? “dan dia sering dipanggil dengan… Kasur.”
Oh ya! Sudah kuduga!
Seketika tawa Dean langsung menyembur dengan keras. “Hahahaha! Kau harus melihat wajah kebingunganmu itu! Kau sungguh lucu!”
Aku hanya bisa tersenyum masam dikerjai seperti itu. Mungkin wajahku sudah memerah saat ini. Ini sudah kesekian kalinya Dean mengerjaiku dengan memanfaatkan keluguanku. Sungguh tidak adil!
Aku akan membalasnya lain kali. Lihat saja.

-----

POV: Joe

“Bukannya setiap guru tari di studio tarimu minimal berumur 20?” tanyaku yang tiba-tiba membuat Nadine seketika menghentikan kegiatan makannya. Begitu tiba-tiba.
Nadine hanya membeku. Tak menjawab pertanyaanku.
“Hmm? Apa kau tidak tau itu?” kejarku.
Kulihat Nadine mengangguk kecil.
“Lalu Kim?”
Nadine tiba-tiba saja membalikkan badannya menghadapku. Dengan tatapan penuh tanya dan alis bertaut. “Kakak tau?”
Aku mengedikkan bahu. “Katakan saja seseorang memberitauku kalau dia masih SMA.”
Dalam hitungan detik yang sangat cepat, Nadine kini sudah dihadapanku. Maksudku benar-benar dihadapanku, di pangkuanku bahkan.
“Jangan beritau siapa-siapa ya.” Ucap Nadine dengan tampang yah bisa dibilang sangat memelas.
“Kenapa?” kutambahkan sedikit rasa simpati dalam tatapanku.
“Karena bekerja di studio tari itu bisa menjadi batu loncatan baginya.” Tatapan memelasnya makin terlihat sedih saja. Eh, tunggu. Apa adikku akan menangis? Sebaiknya tidak.
Sebelum dia benar-benar menangis, sebaiknya aku mengucapkan apa yang ingin didengarnya. Tapi sebelum aku bisa mengutarakannya, kebiasaannya pun muncul. Memotong kata-kataku.
“Kakak menyukainya, kan?” katanya.
Tentu saja aku bingung. “Kenapa kau bisa berkata begitu?”
“Karena kakak menelponnya setelah kalian berkencan.”
“itu bukan-“ dan lagi, dia memotong kata-kataku.
“Yaa… apalah itu namanya. Intinya kakak menelponnya. Kalau kakak tidak tertarik, kakak tidak akan menghubunginya lagi dan menggantungnya, kan?”
Sial. Tau dari mana anak kecil ini? Masih kecil tapi bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Tidak seharusnya aku membelikannya iPhone.
“Kembali ke masalah awal.” Aku mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan ini. “Jadi sejak kapan kau mengetahui kalau Kim masih SMA?”
Kening Nadine terlihat berkerut. Itu tandanya ia sedang berpikir. Atau mengingat.
“Kayaknya sih saat seminggu aku mulai latihan di studio itu.”
“Sudah selama itu?!” pasti wajahku terlihat sangat terkejut. “Dan kau tidak memberitauku? Memberikan petunjuk pun tidak?” atau mungkin ekspresi kecewa sudah membayangi wajahku.
“Aku udah janji, kakak!” tatapan Nadine kembali memelas.
Aku mencoba melembutkan ekspresiku. “Baiklah. Mulai sekarang, tak ada yang kau sembunyikan lagi dari kakak, oke?” aku menjulurkan jari kelingking kanan ku sebagai tanda perjanjian.
Nadine menyambut dengan antusias uluran jari kelingking ku. “Tidak ada dusta diantara kita!” ucapnya dengan penuh semangat dengan hiasan senyum lebarnya yang manis.
Aku sayang adikku.