POV: Joe
Pagi itu aku memang sengaja bersikap biasa saja. Tapi
sebenarnya, ingin rasanya menarik adikku keluar dari kamarnya dan langsung
menginterogasinya. Memang bukan salahnya tidak memberitahuku. Tapi tetap saja.
Dia pasti sudah tau tentang semua ini.
Akhirnya setelah 20 menit aku berpura-pura membaca koran
sambil minum kopi, Nadine dengan santainya melenggakkan kakinya ke ruang makan.
“Sarapan apa kita?” tanyanya begitu dia duduk dengan nyaman
di bangkunya.
“Seperti biasa.” Jawabku dengan nada datar tanpa
mengalihkanku pandanganku dari koran, padahal aku sudah sangat bosan
membolak-balik halaman yang sama dan membaca berulang-ulang artikel yang sama
pula.
Yah memang aku membuatkan sarapan seperti biasa untuknya,
nasi goreng buatan sendiri dengan telur dadar yang aku bumbui.
“Kakak tau?” tiba-tiba Nadine berbicara begitu lirih
sehingga aku harus mengalihkan perhatianku padanya.
“Aku kangen Mama.” Tiga kata itu. Aku tau maksudnya, sangat
memahami bahkan. Tapi mungkin beda rasanya bagi Nadine yang sekarang baru
berumur 10 tahun.
Aku masih menunggu kata-katanya. “Rasa masakan kakak sangat
mirip dengan buatan Mama. Apalagi nasi goreng ini.” Lanjutnya.
Memang rasanya pasti seperti buatan almarhumah Mama. Yaa…
memang karena Mama-lah yang mengajarkanku cara membuat nasi goreng seenak itu.
Tunggu. Kenapa suasana ruang makan ini menjadi sedih begini?
Sial, aku jadi sungkan menanyakan hal ini pada Nadine.
“Sudah, cepat makan kalau kau tidak mau terlambat.” Ucapku.
Air mata yang kuduga akan mengalir itu, buru-buru dihapusnya.
Ia pun makan dengan lahap seperti biasanya.
Pernahkah kalian melihat seseorang makan makanan buatanmu
dengan lahap seperti Nadine sekarang? Kalian harus mencobanya. Rasanya seperti
hasil karya kalian dibeli dengan harga milyaran! Perasaan yang langka namun
menyenangkan.
-----
POV: Kim
“Kau memberitahunya saat kencan pertama?” pekik Dean saat
aku menceritakan kejadian semalam.
“Maaf, aku tidak sengaja. Habisnya saat ngobrol dengannya,
aku merasa sangat nyaman.” Alibiku.
“Tetap saja, Kim! Setidaknya kau harus yakin dan percaya
dulu pada cowok itu. Kau tidak boleh sembarang membertitahu.”
“Baiklah. Maafkan aku.” Sumpah aku benar-benar menyesal. Aku
dan Dean sudah menyepakati hal ini. Jadi, aku yang akan menghadapi resikonya.
Dean menghela nafas sesaat dan menetapku dengan tatapan…
mengerti? “Tenang, kita akan menghadapinya bersama-sama. Kalau kau dipecat,
kita akan segera mendapatkan pekerjaan baru.” Ucapnya dengan senyum
menenangkan.
Aku tertular senyumnya. “Aku sangat beruntung mempunyai
teman seperti kamu. Apa jadinya aku tanpamu?”
“Apa kau sedang mencoba merayuku?” raut wajah Dean langsung
berubah jail. “Karena asal kau tau saja, aku masih sangat mencintai pacarku
sekarang.”
“Kau sudah punya pacar? Kenapa kau tidak memberitahuku?”
jujur aku agak marah karena Dean tidak pernah sama sekali memberitahuku kalau
dia sedang dekat dengan cowok manapun.
“Oh, kau harus berkenalan dengannya. Dia keren dan sangat
asyik. Oh ya, dia juga sangat setia baik aku sedang sedih ataupun senang.” Dean
mengucapkannya dengan berapi-api.
“Siapa namanya? Apa aku mengenalnya?” aku mulai tidak sabar.
“Mungkin kau tidak mengenalnya dengan baik, tapi seingatku
kalian lumayan sering bertemu.”
“Benarkah?” oke, aku mulai bingung. Siapa sebenarnya cowok
yang dibicarakan Dean?
“Ya. Aku pun bersama kalian.”
Mungkin sekarang wajahku mulai terlihat aneh. Aku sangat
penasaran sekaligus bingung. Aku tidak pernah ingat kalau aku dan Dean sering
bertemu dengan seorang cowok. Tidak selama setahun ini.
“Aku akan membantu mengingatkanmu. Dia putih, besar,
menurutku good looking…” aku berusaha keras memutar otakku. Mengingat setiap
cowokyang pernah berbicara dengan kami berdua.
“… sangat empuk,” tunggu. Empuk? “dan dia sering dipanggil
dengan… Kasur.”
Oh ya! Sudah kuduga!
Seketika tawa Dean langsung menyembur dengan keras.
“Hahahaha! Kau harus melihat wajah kebingunganmu itu! Kau sungguh lucu!”
Aku hanya bisa tersenyum masam dikerjai seperti itu. Mungkin
wajahku sudah memerah saat ini. Ini sudah kesekian kalinya Dean mengerjaiku
dengan memanfaatkan keluguanku. Sungguh tidak adil!
Aku akan membalasnya lain kali. Lihat saja.
-----
POV: Joe
“Bukannya setiap guru tari di studio tarimu minimal berumur
20?” tanyaku yang tiba-tiba membuat Nadine seketika menghentikan kegiatan
makannya. Begitu tiba-tiba.
Nadine hanya membeku. Tak menjawab pertanyaanku.
“Hmm? Apa kau tidak tau itu?” kejarku.
Kulihat Nadine mengangguk kecil.
“Lalu Kim?”
Nadine tiba-tiba saja membalikkan badannya menghadapku.
Dengan tatapan penuh tanya dan alis bertaut. “Kakak tau?”
Aku mengedikkan bahu. “Katakan saja seseorang memberitauku
kalau dia masih SMA.”
Dalam hitungan detik yang sangat cepat, Nadine kini sudah
dihadapanku. Maksudku benar-benar dihadapanku, di pangkuanku bahkan.
“Jangan beritau siapa-siapa ya.” Ucap Nadine dengan tampang
yah bisa dibilang sangat memelas.
“Kenapa?” kutambahkan sedikit rasa simpati dalam tatapanku.
“Karena bekerja di studio tari itu bisa menjadi batu loncatan
baginya.” Tatapan memelasnya makin terlihat sedih saja. Eh, tunggu. Apa adikku
akan menangis? Sebaiknya tidak.
Sebelum dia benar-benar menangis, sebaiknya aku mengucapkan
apa yang ingin didengarnya. Tapi sebelum aku bisa mengutarakannya, kebiasaannya
pun muncul. Memotong kata-kataku.
“Kakak menyukainya, kan?” katanya.
Tentu saja aku bingung. “Kenapa kau bisa berkata begitu?”
“Karena kakak menelponnya setelah kalian berkencan.”
“itu bukan-“ dan lagi, dia memotong kata-kataku.
“Yaa… apalah itu namanya. Intinya kakak menelponnya. Kalau
kakak tidak tertarik, kakak tidak akan menghubunginya lagi dan menggantungnya,
kan?”
Sial. Tau dari mana anak kecil ini? Masih kecil tapi bisa
mengambil kesimpulan seperti itu? Tidak seharusnya aku membelikannya iPhone.
“Kembali ke masalah awal.” Aku mencoba untuk mengalihkan
topik pembicaraan ini. “Jadi sejak kapan kau mengetahui kalau Kim masih SMA?”
Kening Nadine terlihat berkerut. Itu tandanya ia sedang
berpikir. Atau mengingat.
“Kayaknya sih saat seminggu aku mulai latihan di studio
itu.”
“Sudah selama itu?!” pasti wajahku terlihat sangat terkejut.
“Dan kau tidak memberitauku? Memberikan petunjuk pun tidak?” atau mungkin
ekspresi kecewa sudah membayangi wajahku.
“Aku udah janji, kakak!” tatapan Nadine kembali memelas.
Aku mencoba melembutkan ekspresiku. “Baiklah. Mulai
sekarang, tak ada yang kau sembunyikan lagi dari kakak, oke?” aku menjulurkan
jari kelingking kanan ku sebagai tanda perjanjian.
Nadine menyambut dengan antusias uluran jari kelingking ku.
“Tidak ada dusta diantara kita!” ucapnya dengan penuh semangat dengan hiasan
senyum lebarnya yang manis.
Aku sayang adikku.